Dokter
adalah seseorang yang mempunyai jasa menyembuhkan pasien atau seseorang yang
sedang sakit. Dokter dapat menyembuhkan penyakit yang diderita pasien. Apabila
aku besar nanti, aku akan menjadi dokter. Karena dokter adalah seseorang yang
sangat berjasa. Aku ingin menjadi dokter karena dapat menyembuhkan pasien yang
terkena penyakit. Dan di saat-saat ini aku akan belajar dengan
sepandai-pandainya agar aku dapat meraih cita-citaku yang ingin menjadi dokter.
Karena disaat kita kecil kita selalu dibahagiakan orang tua. Tapi saat kita
akan menjadi orang yang sukses, kita harus membahagiakan orang tua.
Disaat
aku kecil,aku selalu disayangi orang tua, tapi saat kita sudah besar, kita
harus menyayangi orang tua kita. Aku mempunyai cita-cita menjadi dokter karena
saat aku kecil waktu itu aku sedang sakit dan aku dibawa ke dokter. Dan saat
itu aku akan menjadi dokter karena waktu itu aku sedang melihat seseorang yang
kesakitan, dan aku melihat seorang dokter yang berjuang untuk mengobati pasien
itu. Betapa besar jasa seorang dokter ketika mengobati pasiennya. Dan aku akan
belajar sepandai-pandainya agar aku dapat meraih cita-citaku menjadi dokter.
Dan
dokter telah berjuang demi pasiennya yang sedang sakit. Jasa seorang dokter tak
akan aku lupakan. Karena dokter membantu dan berkorban untuk membantu
menyembuhkan penyakit seseorang yang sedang melawan kesakitan. Tak akan
kulupakan jasa seorang dokter yang amat besar memperjuangkan nyawa seseorang.
Jika kau sakit, kau membantu menyembuhkanku, jasa mu tak ternilai dengan uang.
Aku akan mengingat jasa mu yang mulia, tak akan kulupakan jasamu yang sangat
besar.
Jika
tak ada kau, orang –orang akan kesulitan menghadapi penyakit yang dideritanya.
Karena itu aku akan menjadi dokter supaya bisa membantu orang-orang yang
kesakitan.
Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup di keluarga yang sederhana. Ia punya cita-cita yang tinggi. Saat masih remaja, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Suatu saat nanti, aku akan melakukan apa yang menjadi cita-cita dalam hidupku, dan pada saat itu aku akan bahagia.."
Dia senang membayangkan
dirinya sudah memiliki sebuah mobil mewah, mengendarainya, dan merasakan
kebanggaan yang tidak terhingga karena dia dikagumi dan dibanggakan oleh banyak
orang. Maka, walaupun kemiskinan tetap diakrabi dalam kesehariannya, sikapnya
menjadi angkuh dan sombong karena dia merasa kelak pasti akan kaya raya seperti
yang diangankan.
Ketika ditanya apakah
telah melakukan sesuatu oleh teman-temannya, ia menjawab, "Tunggu saja
kawan, nanti akan kulakukan setelah aku lulus sekolah."
Setelah berhasil
menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, ia kembali berjanji kepada
dirinya sendiri dan kepada orangtuanya bahwa ia akan melakukan apa yang
diinginkannya nanti, setelah ia mendapatkan pekerjaan pertamanya.
Sebelum melangkah ke
dunia kerja, dia meminta nasihat kepada seorang guru besar tentang banyak hal
yang dicita-citakan. Beliau berkata, "Semua yang kamu inginkan, mobil dan
rumah bagus lengkap dengan fasilitasnya, adalah sesuatu yang bagus. Dan
sesungguhnya, mobil dan rumah mewah itu diciptakan untuk kita yang mau dan
mampu memilikinya. Dia tidak kemana-mana, kitalah yang harus bergerak untuk
menghampiri dan mendapatkannya."
Mendengar
tuturan si guru, pemuda itu merasa puas. Sebab, ia makin yakin dengan
anggapannya bahwa mobil dan rumah tidak akan ke mana-mana. Maka, ia pun bekerja
seadanya. Setelah beberapa tahun bekerja, orangtuanya menanyakan, "Anakku,
kapan kamu akan mengambil tindakan untuk mewujudkan cita-citamu?"
"Aku
berjanji akan mengejar cita-citaku setelah menikahi gadis yang aku cintai.
Karena dengan adanya dia sebagai pendamping hidup, maka langkahku akan mantap
untuk mengejar cita-citaku."
Sampai
suatu hari, setelah bertahun-tahun kemudian, ia mulai menua. Dalam hati, ia pun
berkata, "Rupanya, sudah terlambat untuk memulainya sekarang. Sebab,
umurku sudah tak lagi muda."
Begitulah,
cita-cita si pemuda akhirnya hanya menjadi angan-angan dan omong kosong belaka.
Kini, ia hanya bisa merasakan kepuasan semu dengan menikmati setiap hari dalam
kehidupannya untuk mengkhayal, seandainya ia menjadi seperti yang ia
cita-citakan.
Kebiasaan
menunda dari waktu ke waktu, dapat membuat seseorang yang pada awalnya
bersemangat bermimpi, akan kehilangan gairah, arah, tujuan dan berlari menjauh
dari apa yang menjadi impiannya. Sebab, menunda sebenarnya hanya akan mengubur
kesempatan demi kesempatan yang ada untuk mewujudkan impian.
Karena
itu, cita-cita selamanya akan menjadi khayalan belaka jika kita tidak
memulainya dengan rencana! Dan, yang utama, rencana tanpa tindakan nyata juga
hanya akan jadi bualan semata.
Mari,
selagi masih ada waktu, gunakan sebaik-baiknya waktu kita untuk menyusun
kehidupan dan meraih kesempatan, demi menggapai cita-cita.
Salam
sukses luar biasa!
Cerita Dibalik Sebuah Cita-Cita
Bunyi kursi roda yang berderit pelan membuatku menoleh kebelakang dan tersenyum pada gadis yang duduk diatasnya. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, tidak juga sakit yang mungkin sedang ia rasakan dalam tubuhnya. Aku bisa dibilang adalah salah satu yang mengerti benar mengapa ia berada dirumah sakit, namun aku memilih untuk tidak memahami, dan yang mencoba berpura-pura bahwa yang kutahu hanyalah ia seringkali mengendarai kursi rodanya keluar kamar menuju taman didepan rumah sakit ini, tempatku biasa mengambil gambar dengan kamera yang kukalungkan dileher. Kutekan sekali tombol shutter kameraku kearahnya, namun ia tidak juga merubah reaksinya sedikitpun dan sebagai gantinya ia mendorong roda kursinya makin mendekat.“Selamat pagi.” Sapaku. Ia mengangguk pelan untuk menanggapinya. Terlampau jarang aku mendengarnya mengeluarkan suara, “Hari yang baik?”
Ia menunjuk kakinya, yang berarti hari itu tidak terlalu baik, sementara aku hanya mengernyitkan kening.
“Memangnya kenapa?”
Sekali lagi ia menunjuk kakinya diikuti memegang sesuatu berwarna putih. Banyak bahasa isyarat yang ia ciptakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Untuk yang satu itu, berarti bahwa seorang dokter tidak terlalu baik padanya pagi ini. Aku hanya tersenyum menenangkan.
“Dokter Arnold?”
Gadis itu menggeleng. Jika hal itu baik, ia akan menunjuk kepalanya, dan sebaliknya jika hal tidak terlalu baik terjadi, ia menunjuk kaki. Kau tahu, atas berarti baik dan bawah berarti buruk untuknya mengingat kakinya tidak dapat digerakkan dan ia sangat membenci kenyataan tersebut. Dan untuk Dokter Arnold, dokter yang selalu merawatnya, ia selalu menunjuk kepalanya.
Dari belakang kami lalu terdengar sebuah seruan, “Lily.” Gadis itu memutar kursi rodanya sehingga menghadap kearah Dokter Arnold, yang biasa merawatnya. Aku tersenyum singkat padanya, “Selamat pagi, Tiffany.”
“Pagi, Dokter.”
Dokter Arnold memasukkan kedua tangannya kedalam kantong jas putih panjangnya seraya berjalan pelan menghampiri Lily, “Maaf aku terlambat, tapi ini masih terlalu pagi untuk meminta Tiffany memotretmu. Bayarannya sangat mahal dan aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya.”
Lily tersenyum lebar dan melambai kearahku ketika Dokter Arnold mengambil alih untuk mendorong kursi rodanya kembali menuju rumah sakit sambil juga tersenyum padaku, “Sampai nanti, Tiff.”
Aku melambai pada mereka berdua yang sudah sekitar 8 bulan ini kukenal secara tidak sengaja. Pertemuan yang mungkin seharusnya tidak perlu terjadi.
8 bulan yang lalu
Koran yang terlipat kaku itu hanya kutatap dengan nanar. Tidak perlu kubuka lipatannya yang masih sempurna itu untuk mengetahui apa yang tertulis didalamnya. Tidak akan ada namaku di halaman 3 atau 4 atau 5 ataupun 6. Tidak disemua halaman yang menampilkan nama-nama peserta ujian masuk perguruan tinggi negeri yang dengan beruntung diterima ditempat yang mereka inginkan. Aku bukan salah satu yang beruntung.
Ibu dan bapak hanya diam dan bahkan mungkin mengerang dalam hati serta menyesali kenapa aku, putri mereka satu-satunya ini, begitu bodoh dan tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Padahal itu hanya sekedar tes biasa.
“Aku pergi.” Ujarku saat melangkah menuju pintu kayu rumahku yang tidak terlalu besar, karena memang tidak perlu rumah besar untuk menampung kami bertiga. Ibu menahanku,
“Kamu mau kemana, Fan?”
Kuputar badan dan dengan senyum terpaksa, kuacungkan kamera DSLR ku. Tanpa kata-kata, ibu sudah tahu apa yang akan kulakukan. Memotret. Apa lagi?
Mereka membiarkanku pergi berjalan kaki. Sejujurnya, aku tidak terlalu menyesal meskipun aku tidak diterima di perguruan tinggi dimana aku mendaftar untuk melanjutkan kuliah. Karena apa yang kuinginkan hanyalah memotret. Tak ada yang lain. Maka kubiarkan saja kemanapun kakiku membawaku pergi dan tiap langkah itu pula kuabadikan pemandangan yang kulewati.
“BRAK!”
Seseorang menyenggol pundakku dalam upayanya berlari dari sesuatu. Tubuhku limbung namun tidak sampai terjatuh ke tanah dan kedua tanganku reflek memegangi kamera yang kubeli dengan uang sakuku sendiri, “SHIT!” mataku mengikuti si penabrak tadi yang kini sudah jauh dari tempatku berdiri. Bisa kurasakan kemudian pundakku dipegang oleh tangan seseorang,
“Kamu gak apa-apa?”
Aku yakin pasti orang yang sedang berusaha membenarkan posisi berdiriku yang masih belum sempurna ini adalah seorang dokter dari jas putih panjangnya yang berkibar berlebihan. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya sekaligus juga memandangnya dari atas kebawah untuk memastikan bahwa ia bukan dokter di rumah sakit jiwa dan orang tadi adalah pasiennya. Karena memang tidak ada RSJ di daerah ini.
Dokter itu mengangguk. Terbaca dengan jelas nametag bertuliskan nama ‘Arnold Sanjaya’ di jas pada bagian dada kirinya., “Baguslah kalau begitu. Maaf. Permisi.” Ia lalu mengejar orang yang tadi dan dengan sekejap tak terlihat lagi.
Aku kembali berjalan. Cukup jauh dan cukup banyak gambar yang kuambil hingga kartu memoriku sudah hampir kehabisan tempat untuk menampungnya. Kudongakkan kepala untuk memotret gedung-gedung pencakar langit yang seolah menantang keberadaan benda-benda penghias angkasa jika malam tiba. Sayangnya saat ini masih siang.
Lalu terdengar riuh didekatku. Aku mencari sumber keriuhan tersebut dengan bola mataku masih mengintip lewat kamera hingga menemukan beberapa orang menunjuk kesebuah atap gedung yang tidak terlalu tinggi yang terletak beberapa puluh meter dibelakangku.
Demi Tuhan!
Orang yang tadi menabrakku dan seperti dikejar oleh dokter Arnold Sanjaya, sedang berada diujung atap gedung dan seperti siap melompat. Wow wow! Ada apa ini?
Setelah aku bisa menemukan keberadaan dokter Arnold, aku segera menghampiri dan menampar pipinya. Tak peduli ia sedang berteriak-teriak supaya pria tersebut untuk turun dari sana. Dokter Arnold beralih untuk memarahiku,
“HEY! Ada apa?!”
“Ada apa ini??” aku malah melempar balik pertanyaan padanya.
Dokter Arnold menggelengkan kepala dan kembali meneriaki pria diatas gedung.
“HEY!” sengaja aku berteriak ditelinganya dan ia langsung menoleh tak sabar.
“APA?”
“Tarik ia kebawah! Jangan hanya berteriak dari sini saja! Apa kau takut, hah??”
Ia terdiam dan lalu menunjuk keatas lagi, “Ia membawa pisau!”
“Lalu? Kau takut terkena pisau ketika menyelamatkannya? Kau yakin kau seorang dokter, hah? Kau tidak lain hanyalah seorang PENGECUT!”
“PLAK!” ia menamparku. Aku tak peduli dengan teriakannya yang menahanku agar tidak naik keatas sana dan segera berlari masuk kedalam gedung menuju atap dan membuka pintu yang gerendelnya sudah terbuka untuk mendekat ke pria tersebut. Dan ia memang membawa pisau.
Karena mendengar pintu yang berdecit membuka, ia memutar badannya kearahku sambil mengacungkan pisaunya.
“Aku tidak tahu kenapa bapak memilih untuk seperti ini, tapi lebih baik hentikan. Ini tidak akan menyelesaikan apa-apa.”
“Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu masih sangat muda.” Pria itu kembali membalikkan badannya dan terdengar teriakan dari bawah sana ketika beliau semakin memajukan kakinya.
Aku kembali memberanikan diri bersuara untuk mencegah ia semakin bergerak maju, “Oh ya saya memang masih muda dan saya tidak tahu apa masalah yang anda hadapi, yang saya tahu adalah hari ini saya tidak diterima di perguruan tinggi yang saya inginkan dan tidak terbersit sedikitpun untuk melakukan apa yang bapak lakukan sekarang.”
Ekspresi wajahnya mengerikan ketika berbalik menatapku dan bergerak mendekat, “Istriku baru saja meninggal karena kecelakaan yang kusebabkan, anak pertamaku koma, dan anak keduaku…” ia mengarahkan pandangan pada sesuatu dibelakangku dan ekspresinya melunak.
“Bapak…”
Aku menoleh mendengarnya. Gadis kecil itu berjalan berusaha mendekati pria itu dengan tertatih-tatih namun beberapa detik kemudian ekspresinya berubah drastis dalam sekejap. Matanya membulat sempurna dan berkaca-kaca, mulutnya ternganga dan wajahnya pucat pasi, “BAPAAAKKKKK!!”
Aku berbalik cepat dan pria itu sudah tidak ada disana. DAMN! Apa ia terjun? Tapi aku memeluk dengan sangat erat gadis kecil tadi yang masih shock dan berteriak karena dengan posisinya tadi, ia lah yang melihat dengan jelas bagaimana ayahnya melompat…
Gadis itu segera diraih kedalam pelukan seseorang yang tak lain adalah Dokter Arnold. Ia menatapku dan mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Diiringi oleh tangis dan jeritan gadis kecil dipelukan dokter Arnold yang tak habis-habisnya, ia mulai menjelaskan.
“Satu keluarga mengalami kecelakaan kemarin siang dan istri serta putra pertama pria tadi mengalami koma sementara ia baik-baik saja. Hanya luka kecil tak berarti yang semakin membuatnya merasa bersalah. Putri mereka, gadis ini, Lily langsung mendadak bisu setelah shock karena kejadian tersebut. Ia hanya duduk diluar kamar ibunya dan tidak menangis sedikitpun, namun selalu enggan berdiri. Sampai pada akhirnya aku berusaha menggandengnya untuk berjalan dan ia hanya bisa menyeret kakinya.”
“Karena shock?” aku menata dokter Arnold dengan tidak percaya lalu memandang Lily yang baru berusia sekitar 7 tahun.
Dokter Arnold mengangguk, “Pagi tadi ibu Lily meninggal dan itulah yang membuat Bapaknya semakin merasa bersalah dan tidak hentinya membenci diri sendiri. Ia berlari kesini setelah mencabut pisau dari sebuah parsel buah yang dikirim pengunjung kemarin. Aku hanya mengkhawatirkan jika ada seseorang yang naik keatas, terutama aku, Lily akan mengikuti dan melihat kejadian ini secara langsung.”
“Jadi kau sudah memperkirakan kejadiannya akan seperti ini?”
“Tidak. Karena setidaknya ia tidak akan naik jika aku tidak naik karena ia sudah cukup dekat denganku. Lalu ia melihat kau naik kesana. Ia melompat dari gendongan seorang perawat dan menyusulmu, karena tadinya ia pikir tidak mungkin ada yang bisa naik kesana selain ayahnya.”
Setelah itu mereka meninggalkanku dengan kesibukan mengurusi Lily dan tubuh ayahnya yang ternyata tertangkap oleh matras darurat yang dengan cepat dipasang dibawah oleh para penyelamat ketika beliau akan melompat. Beliau selamat meski dengan tangan masih menggenggam pisau.
Sekarang
Sejak itu setiap hari aku memotret ditaman Rumah Sakit untuk sekedar mengamati sekitar dan kusadari betapa banyaknya cerita disana yang dapat kubingkai dengan kameraku. Beberapa hasil jepretanku disana kukirimkan untuk lomba dan ke banyak media hingga akhirnya menang dan dimuat. Termasuk juga foto Lily saat sedang dipertemukan dengan ayahnya. Ekspresinya yang tidak tergambarkan dengan kata-kata, kuabadikan dan termuat dalam salah satu situs fotografi terbesar didunia hingga membuatku cukup dikenal dikalangan fotografer dan jurnalis.
Sebagian uang yang kuhasilkan, kusumbangkan pada Rumah Sakit untuk membiayai mereka yang kekurangan dana berobat, namun sudah berbaik hati mau menjadi model fotoku. Tidak semua mau menjadi model, terutama mereka yang mengidap penyakit yang berbeda dari yang lain. Sehingga aku harus memendam beberapa keinginanku untuk menceritakan kisah mereka pada dunia lewat foto.
Kejadian hari itu adalah titik balik kehidupanku meski sebenarnya cukup aneh dan terlalu menyedihkan untuk diceritakan kembali.
Sampai sekarang Dokter Arnold masih mengupayakan agar Lily mau berbicara lagi dengan orang lain. Karena dengan ayahnya pun ia tidak mau berbicara banyak. Dan juga bagaimana agar ia percaya bahwa ia masih bisa berjalan, karena menurut diagnosa, sebenarnya tidak ada kesalahan apapun pada kedua kaki Lily.
Banyak hal yang harus kulakukan hari ini sehingga aku tidak bisa berlama-lama mengambil gambar ditaman. Aku menyapa beberapa pasien yang sedang berjemur untuk menyerap banyak-banyak sinar matahari pagi agar cepat sembuh dalam perjalanan keluar dari pagar Rumah Sakit. Banyak harapan didalam sana, banyak cita-cita yang menunggu untuk tercapai, begitu banyak asa. Dan dari cerita didalam sana lah aku meraih apa yang selama ini aku inginkan,
Menjadi fotografer.
Cerita Cita-cita
Kisah
malam ini yang membuat diriku sadar bahwa, begitu banyak nikmat Tuhan yang
telah diberikan kepada hambanya namun seringkali kita tidak mensyukurinya dan
betapa anak kecilpun bisa menjadi guru bagi kita semua.
kisah
berawal pada saat saya mengajar privat bahasa Inggris dan bahasa Arab, pada
malam ini sebut saja Nadya murid saya yang sangat lucu dan yang sering membuat
saya kangen sedang merasa badmood dan menahan tangis, karena sang bunda pergi
sudah 3 hari ke Subang menjenguk ayuknya yang sedang mondok di salah satu
ponpes di daerah Subang.
Malam
ini setelah pulang mengajar dari TPA saya mempunyai jadwal untuk mengajar
Nadya. Sesampai dirumah Nadya pintu gerbang yang biasa terbuka dengan lebar
hari ini digembok. Saya beberapa kali memencet bel namun tidak ada reaksi(
ternyata belnya disfungsi!…hehehe), Akhirnya saya telpon HP orang tuanya dan
ternyata Bunda sedang berada di Subang. Akhirnya sang bunda menelpon ke dalam
rumah dan Nadya yang mengangkat tetapi diseberang telepon sang Bunda sedang
sibuk berdialog dengan Ayuknya, walhasil Bete-lah murid kesayanganku yang
satu ini.
Akhirnya
saya masuk kedalam rumah Nadya setelah ada yang membukakan piuntu
gerbang. Karena muridku yang satu ini sedang Badmood, jadi pelajaran
malam inipun diganti menjadi Games tebak-tebakan tapi tetap harus menggunakan
bahasa Inggris. Setelah suasana mulai menjemukan, sayapun berinisiatif
untuk mengganti suasana dengan memancing Nadya untuk bercerita.
Tibalah
saya mengajukan pertanyaan tetang Apa cita-cita seorang Nadya?, kemudian diapun
dengan sigap menjawab “Aku ingin menjadi dokter Hewan dan harus jadi pengusaha
juga seperti Bunda dan Ayah!” Ujarnya. Saya tertegun mendengar jawaban
dari murid yang cantiknan lucu ini, saya bahagia mempunyai seorang murid yang
bercita-cita menjadi pengusaha seperti yang saya cita-citakan.
Lalu
saya bertanya kenapa Nadya mau menjadi dokter hewan? dia menjawab : ” karena
aku suka sekali dengan hewan,,lucu-lucu kan kasihan kalau mereka sakit dan ga
ada yang ngobatin.” hehehe mulia sekali ni anak. Memang peliharaan Nadya dan
Ayuknya sangat banyak ada kura-kura, kucing persia yang bernama bobi, Musang
bulan, dan sifulan anak macan. Huft…jangan ditanya kadang-kadang terjadi hal
lucu deh ketika mereka melihat saya takut dan geli dengan semua peliharaannya.
Lalu
saya bertanya lagi kenapa Nadya mau menjadi seorang PENGUSAHA, dan jawaban
muridku yang solehah ini membuat saya tercengang dan beberapa kali hampir
menitikkan air mata. Nadya menjawab ” Aku ingin menjadi seorang pengusaha
karena biar seperti Bunda dan Ayah, Aku ga’ mau jadi PNS yang pemalas ( Ups
jawaban ini keluar dari mulut bocah kecil, bukan bermaksud merendahkan
siapapun) hanya mencari keamanan aja dihari tuanya”, loh kok pemalas?(
tanyaku) . ” Ia mereka masuk PNS banyak yang nyogok sampai ratusan
juta, kalau jadi mereka aku depositoin ajadeh uang itu ke Bank eh tapi ga jadi
deng kata bunda itu bunganya Haram!!!, mending aku bikin usaha aja, jadi usaha
gorengan atau warung kelontongan dirumah jadilah”.
“Subhanallah!!!
( luar biasa murid aku yang cerdas ini), eits masih ada lanjutannya Nadya masih
berceloteh seolah Ia akan benar-benar menjadi seorang PENGUSAHA . ” Kalau aku
sudah berhasil dengan usaha aku, aku pengen bantu saudara-saudara aku yang
susah, aku pengen buat mereka juga punya usaha biar kalau ibu-ibu atau
bapak-bapak bisa nyekolahin dan ngasih makan anak-anaknya”. Menetes sedikit nih
air mata , lanjut ” Aku kasihan melihat teman aku yang mempunyai ibu gosipnya
sih kata temen-temen aku ibunya jadi perempuan bayaran, kan mi aku malu kalau
ada teman aku yang sampai seperti itu, aku sih masih kecil jadi belum bisa
bantu, ibunya jadi gitu gara-gara ekonomi, andai aku sudah jadi PENGUSAHA,
pasti temen aku ga akan merasa malu seperti sekarang ini”.
Celoteh
murid saya yang solehah ini masih berlanjut ” Banyak deh mi cita-citaku kalau
udah jadi pengusaha sukses aku mau buat yayasan yatim piatu, mau buat sekolah
gratis bagi anak-anak yang ga’ mampu dari pada jadi anak ga jelas! doa’in ya
mi…Amiin”. Hiks…hiks…begitulah sepenggal cita-cita Seorang Anak kelas 4 (
Empat) sekolah dasar. Yang masih dengan polos membaca situasi dan
respect/ peduli dengan lingkungannya. Saya malu dengan pola pikir Murid
saya yang cerdas ini, membuat saya hmm…campur aduk rasanya, bersyukur
karena ternyata begitu banyak nikmat yang Allah berikan kepada saya, bersyukur
bertemu dengan anak yang manis ini, bersyukur mendidik Anak yang cerdas bukan
cuma cerdas secara akademik namun juga cerdas dalam masalah sosial.
0 komentar:
Posting Komentar