PENULIS BUKU


Mengenal Sejarah Buku

1. Sejarah Perkembangan Buku
Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan. Penyampaian informasi, cerita-cerita, nyanyian, do’a-do’a, maupun syair, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Karenanya, hafalan merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semuanya dihafal. Kian hari, kian banyak saja hal-hal yang musti dihafal. Saking banyaknya, sehingga akhirnya mereka kuwalahan alias tidak mampu menghafalkannya lagi. Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya dalam tulisan. Maka, lahirlah apa yang disebut sebagai buku kuno.

Buku kuno ketika itu, belum berupa tulisan yang tercetak di atas kertas modern seperti sekarang ini, melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping batu (prasasti) atau juga di atas kertas yang terbuat dari daun papyrus. Papyrus adalah tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.


Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal tulisan yang disebut hieroglif. Tulisan hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno bentuk hurufnya berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk gulungan ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.

Selain Mesir, bangsa Romawi juga memanfaatkan papyrus untuk membuat tulisan. Panjang gulungan papyrus itu kadang-kadang mencapai puluhan meter. Hal ini sungguh merepotkan orang yang menulis maupun yang membacanya. Karena itu, gulungan papyrus ada yang dipotong-potong. Papyrus terpanjang terdapat di British Museum di London yang mencapai 40,5 meter.

Kesulitan menggunakan gulungan papyrus, di kemudian hari mengantarkan perkembangan bentuk buku mengalami perubahan. Perubahan itu selaras dengan fitrah manusia yang menginginkan kemudahan. Dengan akalnya, manusia terus berpikir untuk mengadakan peningkatan dalam peradaban kehidupannya. Maka, pada awal abad pertengahan, gulungan papyrus digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras yang dinamakan codex.

Perkembangan selanjutnya, orang-orang Timur Tengah menggunakan kulit domba yang disamak dan dibentangkan. Lembar ini disebut pergamenum yang kemudian disebut perkamen, artinya kertas kulit. Perkamen lebih kuat dan lebih mudah dipotong dan dibuat berlipat-lipat sehingga lebih mudah digunakan. Inilah bentuk awal dari buku yang berjilid.

Di Cina dan Jepang, perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya seperti lipatan-lipatan kain korden.

Buku-buku kuno itu semuanya ditulis tangan. Awalnya yang banyak diterbitkan adalah kitab suci, seperti Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan.

Di Indonesia sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. Buku kuno itu ditulis di atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu lalu dijilid hingga membentuk sebuah buku.

Perkembangan perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang sampai sekarang masih digunakan sebagai bahan baku penerbitan buku. Pencipta kertas yang memicu lahirnya era baru dunia perbukuan itu bernama Ts’ai Lun. Ts’ai Lun berkebangsaan Cina. Hidup sekitar tahun 105 Masehi pada zaman Kekaisaran Ho Ti di daratan Cina.

Penemuan Ts’ai Lun telah mengantarkan bangsa Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada abad kedua, Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia.

Sebagai tindak lanjut penemuan kertas, penemuan mesin cetak pertama kali merupakan tahap perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia perbukuan. Penemu mesin cetak itu berkebangsaan Jerman bernama Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg.

Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan ditulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibentuk menjadi kata atau kalimat. Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan mesin cetak. Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu agak lama karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.

Gutenberg memulai pembuatan mesin cetak pada abad ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan abad ke-20.

2. Buku di Era Modern
Di era modern sekarang ini perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser hingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).

Semua penemuan menakjubkan itu telah menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.

Bahkan sampai sekarang ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, sebab tak tersedia data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan lembaga ini.

Namun, dari pengamatan sekilas saja, kita akan dapat segera menyimpulkan, betapa penerbit-penerbit buku saat ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di berbagai kota di negeri ini, maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku baru terbit silih berganti bak musim semi dengan beragam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari berbagai penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari penerbit kecil yang baru merintis dan masih kembang-kempis.

Animo masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laris manis diserbu masyarakat.

Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang nyaris 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Bagi seorang muslim da’i yang memiliki komitmen dengan dakwah, kondisi di atas akan dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Menulis buku-buku bernuansa dakwah adalah pilihan yang sudah selayaknya untuk dilakukan. Agar buku benar-benar menjelma fungsinya sebagai pencerdas dan pencerah umat, bukan sebaliknya.



Menjadi Penulis Buku Produktif

Penulis besar seperti Qurais Syihab, Toto Tasmara, Kartini Kartono, Muh. Fauzil Adhim, dll (dalam jenis non fiksi) atau Helfi Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Asma Nadia, Mira W, dll (dalam jenis fiksi), mereka semua adalah penulis-penulis buku best seller yang sebelumnya adalah penulis artikel mumpuni yang artikelnya kerap menghiasi berbagai media cetak.

Kepekaan seorang penulis artikel sudah teruji bertahun-tahun. Ketika berkecimpung dalam penulisan buku, sudah memiliki bekal yang cukup memadai. Dia akan mampu melihat dengan kaca mata bathinnya apa yang tengah terjadi di masyarakat. Kemudian menggali dengan cermat, apa sesungguhnya yang diinginkan masyarakat itu. Ibarat seorang pemanah ulung, ia akan menumpahkan segala kemampuannya (yang telah teruji itu) untuk membidik sasarannya. Hasilnya, buku-buku buah “tinta emasnya” laku bak kacang goreng (best seller).

Seorang penulis artikel, secara otomatis (biasanya) telah memahami kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Maka ketika menulis buku, hal itu tidak aneh lagi. Ia akan mampu menyusun kata, kalimat dan paragraf yang enak dibaca dengan tanda baca yang sesuai tempatnya. Tulisannya mudah dicerna, mengalir laksana air pegunungan yang mengalir deras, sejuk dan menyegarkan. Pada gilirannya, pembaca merasa senang membaca keseluruhan buku itu, banyak hikmah yang dapat dipetik dan tidak merasa dirugikan sekalipun harga buku itu cukup mahal untuk ukuran “saku”nya.

Seorang penulis artikel, biasanya juga seorang yang berwawasan luas (terutama pada bidang yang dispesialkannya). Mereka sudah terbiasa membaca buku, surat kabar, majalah, dll. Sebagai rujukan untuk memperkuat artikelnya. Maka ketika menulis topik tertentu untuk bukunya, mereka tidak akan kesulitan.

Seorang penulis artikel, biasanya juga pekerja keras yang tak kenal lelah. Mereka sudah terbiasa memeras otak dan duduk seharian di depan komputer/mesin tik. Ibarat seorang pelari, ia sudah terbiasa dengan panas dan hujan, jalan berliku dan lurus, atau jalan menanjak dan menurun. Mereka sudah mengenal medan.

Memahami Struktur Buku
Struktur atau anatomi buku jelas sangat beda dengan artikel. Buku memiliki anatomi yang tersusun secara rinci. Sekalipun pada masing-masing penerbit berbeda dalam memahami anatomi buku ini, namun praktenya memiliki banyak kesamaan.

Memahami anatomi buku sangat penting, seorang penulis dengan sendirinya tidak mempersulit diri sendiri dan penerbit. Penulisan buku yang semau gue, tidak lengkap sesuai anatomi yang umum, sekalipun diterima oleh penerbit, nantinya akan dikembalikan untuk dilengkapi.
Secara garis besar anatomi buku terbagi dalam tiga besar; pendahulu, isi naskah, dan penutup (end matter). Tiga besar tersebut rinciannya sebagai berikut:

a. Pendahulu (Preliminary pages/front mater)
Pendahulu (bukan pendahuluan) adalah halaman yang mendahului halaman isi. Halaman ini hanya menginformasikan keberadaan isi buku yang akan Anda baca. Sebagian penerbit memberikan nomor dan jenis angka tersendiri pada halaman pendahulu ini (tidak satu rangkaian dengan halaman naskah dan umumnya menggunakan angka romawi). Namun banyak juga penerbit yang tidak membedakan hal tersebut.

Halaman pendahulu terdiri dari:
1) halaman pancir (lembar pertama setelah cover)
2) halaman judul (lembar kedua)
3) balik halaman judul (halaman copy right)
4) daftar isi
5) daftar pedanan kata (transilasi)
6) halaman persembahan
7) ucapan terima kasih
8) pengantar
9) Sambutan

Tidak semua penerbit menggunakan secara lengkap poin-poin tersebut terutama halaman persembahan, pedanan kata, ucapan terima kasih, dan sambutan semuanya disesuaikan dengan kebutuhan.

b. Isi Naskah Buku
Setelah pendahulu halaman, selanjutnya isi naskah atau menurut Sofia Mansoor “daging buku”. Isi naskah buku berisi pembahasan lengkap sebagai penjabaran dari judul. Isi naskah terbagi dalam beberapa bab, sub bab dan pasal yang dimaksudkan untuk memisahkan antara satu sub bahasan dengan sub bahasan yang lainnya. Di samping itu untuk mempermudah pembaca memahami isi naskah. Adakalanya bab-bab itu tidak ditulis, cukup menuliskan nomornya saja.

c. Penutup (end matter)
Penutup, end matter, atau back matter adalah halaman akhir setelah halaman naskah. Halaman penutup ini umumnya terdiri dari:

1) lampiran
2( daftar pustaka
3) indeks
4) riwayat hidup penulis
Struktur buku di atas harus dipahami penulis. Buku yang dikirim dalam kondisi lengkap, sangat memudahkan penerbit dalam mengolahnya.

Menguasai Masalah yang Ditulis dan Memiliki Sumber Rujukan Lengkap
Sebagaimana penulisan artikel, maka penulisan buku pun sama harus memahami topik yang dibahas. Jangan pernah sekali-kali menulis tentang politik umpamanya jika tidak memiliki latar belakang dan pengalaman dalam bidang politik. Atau menulis tentang pertanian sementara latar belakang penulis dalam bidang peternakan, tentu akan sangat memusingkan diri sendiri. Sebagaimana dibahas pada Bab I, hendaknya penulis fokus pada spesialisasi ilmu yang dimiliki.

Berbicara buku-buku rujukan, jenis buku non fiksi jelas memerlukan rujukan buku-buku yang memiliki kemiripan bahasan, atau setidaknya ada keterkaitan dengan naskah yang tengah ditulis. Dimaksudkan agar tulisan padat dan lengkap. Kredibilitas buku itu sendiri nantinya diakui sebagai buku yang berkualitas karena menyertakan pendapat dari penulis lainnya. Semakin banyak rujukan yang dipakai biasanya semakin besar pula kepercayaan pembaca.

Walau demikian, orisinalitas dan gaya tulisan harus tetap terjaga. Seorang penulis tidak boleh hanya mengandalkan rujukan atau meniru gaya penulisan orang lain apalagi jika nyata-nyata menjiplak. Rujukan hanya sekedar perbandingan untuk menambah perbendaharaan pendapat. Pada gilirannya, penulis harus memiliki sikap tersendiri.

Memahami EYD
Sekalipun sudah terbiasa menulis artikel dan sudah memahami bahasa Indonesia dengan baik, namun penulis buku harus memahaminya lebih dalam terutama korelasi antar paragraf, efektivitas kata, dan kalimat. Kata dan kalimat yang tidak efektif sehingga memberikan kesan bertele-tele, hendaknya dibuang. Begitu pula tanda baca yang kurang pada tempatnya agar diperbaiki. Sehingga buku tersebut mengalir, enak dibaca, tidak kaku dan menjemukan.
Selain itu, seorang penulis harus mampu memilih kata (diksi) yang tepat untuk tulisannya terutama untuk judul, sub judul atau pasal. Pilihlah kata atau kalimat untuk judul bab, sub bab dan pasal yang dapat merangsang pikiran atau menarik perhatian pembaca.

Memiliki Kepekaan

Tidak semua penulis memiliki kepekaan pemikiran. Dalam menjabarkan suatu ide, banyak penulis yang hanya mengekor tanpa memiliki orisinalitas ide. Seorang penulis yang peka, dapat melihat dengan mata bathinnya sesuatu yang layak dituangkan dalam buku. Terkadang topik yang dituangkan dalam buku itu sangat sederhana, namun begitu mengena di hati pembaca. Tidak semua buku best seller itu buku yang berat, justru buku-buku yang ringan, yang akrab dalam keseharian pembaca, kerap menjadi buku yang laku keras.
Jadi jangan pernah asal-asalan dalam menulis. Efektivkan pikiran, tenaga dan waktu Anda untuk pembahasan ide yang benar-benar tepat sasaran.

Bermental Pejuang
Penulis buku yang cengeng, sering keluh kesah, dan kurang bersemangat, sangat sulit bisa menjadi penulis yang sukses. Baru sekali bukunya ditolak oleh penerbit, lantas frustasi. Padahal seorang penulis ternama di Barat, pernah naskahnya ditolak oleh 600 penerbit. Setelah diterbitkan oleh penerbit ke 600 itu, bukunya ternyata best seller. Jika ia frustasi ketika ditolak oleh penerbit ke 500 umpamanya, kini ia takkan menikmati hasil tulisannya. Anda pernah ditolak oleh berapa penerbit? Beberapa naskah saya sendiri pernah ditolak oleh hampir seluruh penerbit di Bandung, ketika naskah itu diterbitkan, ternyata best seller.

Seorang penulis harus penuh optimisme, selalu bersemangat dan siap menghadapi halangan dan rintangan dalam menulis buku. Kedepankan profesionalisme dan kemahiran menulis dari pada sesuatu yang sifatnya materi. Dahulukan kerja keras, hasil belakangan. Berprestasi dulu, baru memetik hasil. Teruslah berlatih, jangan mudah putus asa karena putus asa adalah racun bagi kesuksesan dan kesuksesan akan datang hanya pada mereka yang berusaha mendapatkannya bukan pada mereka yang hanya mengharapkannya.




Gagal Menjadi Penulis Sukses, Kenapa?

Saya akan coba mengurai sejumlah penyebab kegagalan menjadi penulis. Dalam bidang apa pun kegagalan adalah jenis makhluk yang bikin tidak enak bagi yang menjalaninya. Kita perhatikan dan kenali 7 sebab kegagalan dalam proses olah tulis menulis.

1. Belajar Teori Saja
Aa Gym sering mengingatkan, “satu langkah bukti nyata, lebih baik daripada seribu teori”. Saya setuju dengan apa yang dikemukakan Aa Gym.

Prestasi apa yang dapat dihasilkan oleh generasi, yang cuma berhenti sampai tingkat teori saja. Dalam olah tulis menulis, betapa banyak jebolan perguruan tinggi, ditambah alumni kursus-kursus pelatihan menulis atau mengarang, tapi tidak pernah mampu menyelesaikan barang sejudul pun.

Maka tidak heran jika Abu Al-Ghifari sewaktu aktif di Ash-Shidiq Intelectual Forum, sebuah lembaga
pelatihan jurnalistik yang dipimpinnya, menerima banyak keluhan dari sarjana S1. Keluhan mereka yaitu tidak bisa menulis.

Kata DR. Deddy Mulyana, di negeri semisal Amerika, adalah kenyataan aneh bila seorang dosen tidak bisa menulis. Dan apalagi bergelar S2 atau S3. Dengan semangat tinggi, Bambang Trim mengutip sebuah pernyataan dari pusat pendidikan AS, bahwa “semua ilmuwan adalah sama, sampai satu di antara mereka menulis buku.”

Saya sepakat dengan Abu Al-Ghifari, kesulitan menulis bagi kaum intelektual bukan terletak pada teori tulis menulis. Tetapi karena malas mempraktekkannya. Kesimpulannya, siapa pun yang hanya mempelajari teorinya saja, tidak akan pernah bisa menulis.

2. Ide Sebatas Ide
Boleh jadi ide sudah berjumpalitan di otak kepala. Mungkin baru saat ide ditemukan rasanya tiada duanya. Perkiraan ide belum ditulis oleh penulis lainnya. Terbayanglah di benak kita ide ini paling mutakhir bernilai jual tinggi.
Tetapi sayang, ide hanyalah bunga-bunga khayalan. Akhirnya, bunga-bunga ide lesu dimakan waktu. Dan terkejutlah saat membaca tulisan yang ide utamanya sama. Rugilah kalau ide sebatas ide.

3. Menulis yang Tidak Disukai
Bicara mengenai tingkat kelancaran sekaligus kemandegannya, antara komunikasi lisan dan tulisan terdapat kesamaan. Jalaluddin Rakhmat dalam “Retorika Modern” (Rosda Karya, 1992) menjelaskan, apa pun isi ceramah yang disampaikan ke khalayak akan menjadi menarik bila materi itu dikuasai.
Lalu timbul kesimpulan, ceramah yang disampaikan, amat tidak menarik, jika mengucapkan apa-apa yang tidak dikuasai.

Begitu pula dengan tulis menulis. Nulis apa saja kalau kita menguasai materinya pasti lancar meski tidak bebas hambatan. Sebaliknya, nulis apa pun sekiranya materi tidak dikuasai, niscaya menemui kemandegan atau kebuntuan.

Jangan cuma karena ingin gagah-gagahan, kita menulis bahasan yang sebenarnya kita tidak memahami. Contoh: kita hendak menulis tentang Pemilu (Pemilihan Umum). Sementara pengetahuan mengenai Pemilu tidak memadai bahkan masih terbilang buta. Maksudnya, jangan memaksakan diri.
Setiap penulis memiliki spesialisasi ilmu yang khas. Jangan terjebak pada arus gemuruh emosi sesaat. Ukurlah kemampuan diri.

4. Cepat Puas
Tidak sedikit penulis pemula yang tulisannya berhasil dimuat media massa. Tidak cuma lokal, bahkan ada yang menembus media berskala nasional.

Namun sangat disayangkan, mereka cepat sekali merasa puas dengan capaian seperti itu. Mereka terlena dengan satu, dua tulisan yang dimuat dibangga-banggakan di setiap waktu dan diedarkan ke setiap forum pertemuan. Tentu saja bangga itu boleh, tetapi bila dalam waktu yang cukup lama kemudian tidak lagi menulis, nanti akan lupa bagaimana caranya menulis. Akibatnya sulit lagi untuk menulis.

Cepat puas dalam konteks ini dapat menimbulkan kemacetan total. Sayang, padahal sudah terbukti mampu menulis.

5. Ingin Cepat Populer
Para penulis pemula utamanya punya kebiasaan buruk, yakni ingin cepat popular. Terkadang lupa bahwa ketenaran, kepopularan, keterkenalan memerlukan proses waktu yang panjang dan perjuangan sangat keras. Tidak cukup dalam waktu singkat sebab profesi menulis bukan pekerjaan instan.

Tidak adil jika kita menuntut diri dengan harapan sosial yang tak proporsional. Robert B. Downs penulis “Buku-buku yang Merubah Dunia” (PT. Pembangunan Djakarta, 1959) mengungkap, banyak para penulis yang menggerakkan sejarah menulis di usia paruh baya atau tua: 44-54 tahun. Dua di antaranya, Thomas Paine dan Adolf Hitler (lepas dari kejahatannya). Paine dinilai sebagai pelopor kemerdekaan Amerika dengan karyanya “Pikiran Sehat (Common Sense).” Sedangkan Hitler penulis “Perjuanganku (Mein Kampf)” begitu kuat mempengaruhi gerakan komunis.

Hikmah yang kita petik adalah meraih popularitas perlu waktu panjang. Penulis yang tidak tahan proses, jelas akan gagal.

6. Macet Terjebak Honor
Bagi penulis senior, apa lagi yang idealis, kegiatan menulis tidak lagi (terutama) untuk mencari honor. Buat mereka yang terpenting ide sudah tersebar. Memasarkan ide ke lebih banyak orang dan kalangan. Berbeda dengan penulis pemula, yang dicari adalah honor berupa uang. Kelompok kedua jelas lebih banyak jumlahnya, ketimbang kelompok pertama.

Di bulan Oktober 1996, dua tulisan saya dimuat sebuah harian lokal. Senang bukan bikinan. Selang seminggu, setelah pemuatan tulisan kedua, saya menghubungi bagian yang bertugas mengurusi honor. Waktu itu saya kecewa berat, karena katanya tidak ada honor untuk penulis luar. Sifatnya hanya menyumbang naskah. Petugas itu mohon maaf ditambah basa-basi sedikit. Saya pun segera tahu, dan sangat memaklumi koran lokal yang memuat tulisanku, sedang berjuang keras memperpanjang umurnya. Cerita yang sama dialami Toha Nasrudin, nama lahir Abu Al-Ghifari sewaktu saya berkunjung ke Mujahid Press. Ia menyatakan, “tulisan saya sudah 20 judul tidak dihonor oleh media yang sama, tapi bukan uang sebagai tujuan.”

Pembaca Budiman, sekiranya Abu Al-Ghifari berhenti menulis gara-gara tidak dihonor, pasti ia tidak seproduktif sekarang yang telah menulis puluhan buku itu. Jika pembaca mengalami hal demikian, kecewa boleh, tapi jangan dipelihara. Ambil positifnya saja. Dimuat pun sudah beruntung.

7. Membesar-besarkan Kelemahan Sendiri
Bicara kelemahan, siapa yang terlepas dari kelemahan. Semua punya. Jangan perbesar kekurangan. Apalagi kita umbar ke setiap orang. Bisa-bisa yang mendengarkan jadi pusing dan jengkel.
Biasanya kelemahan itu berupa: tidak ada waktu, kurang referen, tidak ada bakat menulis dan bukan keturunan penulis.

Begitu sering pengamat politik muda usia Eep Saefullah Fatah menulis kolom saat menyetir. Caranya, Eep ngomong soal politik, sedang istrinya mencatat yang dibicarakannya. Ada bekas menteri yang mengetik di atas kendaraan. Hernowo mengaku bukan keturunan penulis. Ketiga orang ini jelas memiliki kelemahan dalam mengolah tulisannya, namun mereka tetap produktif.

Pembaca budiman, semakin meyakini lemah dan memperbesar kelemahan dalam menulis, tambah dalamlah diri kita memasuki wilayah kegagalan menjadi penulis.


Kesulitan Mendapatkan Ide

Diakui, ide atau inspirasi ini adalah modal awal seorang penulis dalam membuat artikel. Ide dianggap langkah penting pertama sebelum menuju langkah berikutnya. Ide yang baik ditunjang dengan pemahaman masalah dan penjabarannya yang baik akan menghasilkan artikel yang berkualitas. Intinya, sebuah artikel akan sulit dan tidak mungkin terwujud jika sebelumnya tidak ada ide.

Inspirasi berarti sesuatu yang muncul secara tiba-tiba dalam pikiran kita. Munculnya inpsirasi ini kadang erat kaitannya dengan pengalaman panca indera dalam menangkap respon tertentu yang dialami saat itu. Inspirasi ini nantinya mengarahkan penulis untuk menulis jenis karangan, baik artikel, cerpen atau puisi. Pemilihan jenis karangan ketika muncul inspirasi tergantung minat penulis saat itu.

Mengingat inspirasi munculnya tiba-tiba, maka para penulis profesional umumnya menyarankan kepada penulis pemula untuk senantiasa membawa buku catatan kecil khusus untuk menuliskan inspirasi ini. Semakin banyak inspirasi yang ditulis dalam catatan kita, maka akan semakin banyak pilihan dalam penulisan artikel nantinya.

Guna mendapatkan inspirasi, sebaiknya carilah kesibukan, seperti membaca, berjalan-jalan, atau bertukar pikiran. Inspirasi bagi seorang pengarang berpengalaman punya arti yang sangat berharga. Inspirasi yang mengalir walaupun hanya sebuah kalimat pendek, dapat dijadikan sebuah artikel atau cerita pendek yang dibumbui dengan catatan atau pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain.

Kemampuan mengembangkan inspirasi atau ide, merupakan suatu keahlian atau pengalaman yang terlatih. Pengarang yang sudah terlatih, disiplin, dan tekun, tidak pernah mendapat kesulitan dalam mengembangkan inspirasinya. Pengarang seperti ini tidak pernah kehabisan bahan tulisan, dia berkarya tidak selalu menanti inspirasi datang, tetapi berkarya terus dan dalam berkarya itulah inspirasinya turun dan hinggap di kepalanya.

Thomas Alfa Edison mengatakan, "Genius itu; 1% inspirasi, dan 99% cucuran keringat," dari sini semakin jelas, bahwa kecerdasan atau kesanggupan berpikir itu, inspirasinya hanya 1% saja, sedangkan cucuran keringat atau kerja/usaha 99%. Dalam mengarang pun diperlukan kerja keras, memeras otak, atau apa yang dikatakan Edison "cucuran keringat". Namun sekalipun inspirasi itu hanya 1% tapi cukup vital.

Inspirasi yang 1% itulah yang dikembangkan dengan kemampuan yang ada untuk bisa berkembang sampai 100%. Dalam usaha pengembangannya, seorang pengarang memerlukan modal atau pengetahuan "kemahiran berbahasa" Indonesia yang baik dan benar. Dalam kemahiran berbahasa inilah terletaknya "seni mengarang" yang ditunjang oleh disiplin yang ketat dalam berlatih.



Problematika Penulis Pemula


Sulit menjabarkan yang dimaksud di sini adalah bukan sebatas kesulitan membuat kalimat pembuka tapi kesulitan menyelesaikan artikel itu hingga tuntas. Kadang ide sudah ada, penulis masih bingung, apa yang mesti dilakukan dengan ide itu karena begitu 'gelap' untuk menjabarkannya.

Di antara penyebab dari kemandegan ini adalah:
a. Penulis tidak menguasai masalah atau materi yang dibahas
b. Kurang referensi
c. Tidak jelas kerangka kerangannya (kerangka pemikirannya)
d. Belum terbiasa membuat artikel


Untuk lebih jelas mengenai empat masalah tersebut, berikut kami bahas satu persatu:

a. Penulis tidak menguasai masalah atau materi yang dibahas
Kebanyakan penulis pemula merasa optimis bisa membahas bahasan yang idenya baru saja ditemukan, tidak mempertimbangkan apakah dia mampu atau tidak menjabarkan ide itu. Misalnya, ide yang didapat dalam bidang politik, padahal dia sendiri hanya berlatar belakang matematika, seni atau lainnya yang tidak ada kaitannya dengan politik, jelas sulit. Sekalipun boleh-boleh saja selama mampu, tapi bagi penulis pemula biasanya bingung sendiri. Penulis yang memaksakan diri membahas suatu bahasan tanpa menguasai materi tersebut bisa prustasi.

Untuk itu kami sarankan agar membahas suatu ide yang memang layak Anda bahas atau sesuai dengan latar belakang pendidikan Anda. Membahas suatu ide yang materinya sesuai dengan latar belakang sendiri akan sangat mengasyikkan, selain itu nantinya kredebilitas penulis akan sangat diakui media. (Lihat bab I tentang Fokus pada Spesialisasi Ilmu yang Dimiliki)

b. Kurang referensi
Referensi, baik buku-buku atau media lainnya sangat menunjang dalam pembahasan suatu artikel. Sekalipun artikel yang dibuat sesuai latar belakang pendidikan Anda, namun tidak ada salahnya sebelum Anda membuat artikel, persiapkan dulu referensi atau rujukan yang mendukung pada artikel yang akan dibuat.

c. Tidak jelas kerangka karangannya
Bagi penulis pemula, sekalipun ide yang dibahas sesuai dengan profesi atau latar belakang pendidikannya dan referensinya juga cukup, tapi kadang masih ada kendala menjabarkan bahasannya. Penyebab lainnya adalah kurang adanya perhatian pada kerangka karangan. Kerangka karangan dalam setiap tulisan atau karangan tetap diperlukan.

Kerangka karangan untuk artikel cukup secara garis besar saja yaitu rangkaian masalah yang akan dijabarkan dalam artikel, tidak mesti terlalu mendetail, cukup pokok pikirannya saja.

d. Belum terbiasa membuat artikel
Jika tiga masalah di atas bukan kendala lagi, tapi masih kesulitan menyusun kata atau kalimat, bisa jadi disebabkan belum terbiasa membuat artikel. Disarankan, sekalipun sulit tapi usahakan terus berjalan, nanti pun Anda akan terbiasa menulis dengan mudah.




Etika Menulis

Di dunia ini hampir tidak ada suatu pekerjaan pun yang dilakukan tanpa etika. Profesi dokter punya etika, guru, sopir, karyawan pabrik, masinis, dan masih banyak lagi, semuanya ada aturan main baik secara tertulis maupun tidak.

Keberadaan suatu etika pada umumnya didasarkan pada itikad baik untuk kebaikan bersama. Dengan adanya itikad baik itu diharapkan masyarakat dapat menggunakan etika tersebut sebagai acuan dalam setiap perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan pekerjaan dan profesinya itu.


Mentaati etika dari sebuah profesi, dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk menghargai dan loyal terhadap profesi yang ditekuni seseorang. Sebab jika seseorang melanggar etika profesi yang telah menjadi kesepakatan bersama, ia dianggap menyimpang dan tidak loyal lagi pada profesinya. Hal tersebut berakibat kurang dihargainya kredibilitas seseorang yang melanggar etika itu.

Profesi sebagai penulis juga mempunyai etika. Akan tetapi etika profesi penulis ini belum baku sebagaimana etika profesi yang telah mapan lainnya. Seperti etika profesi dokter, etika profesi wartawan, etika profesi guru dan sebagainya. Belum mapannya etika profesi penulis ini disebabkan masih merupakan profesi baru dan belum berkembang sebagaimana profesi lainnya di Indonesia.

Aturan main adalah dunia kepenulisan ini secara garis besar dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Materi dan gagasan penulisan hendaknya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila dan peraturan yang berlaku lainnya.

2. Isi tulisan tidak menyinggung kebersamaan dalam kerukunan sesama warga negara dan warga masyarakat secara keseluruhan, seperti misalnya masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

3. Seorang penulis hendaknya bersikap jujur dalam segala hal yang berkaitan dengan materi kepenulisannya. Misalnya berkaitan dengan penyebutan identitas diri, penyebutan pekerjaan, penyebutan alamat tempat tinggal, status jabatan dan sebagainya. Ketidakjujuran seorang penulis akan merugikan dirinya sendiri.

4. Mengirim tulisan dengan ketikan rapi, tanpa banyak coretan.

5. Menggunakan bahasa yang baik dan benar.

6. Tidak melanggar hak cipta orang lain. Seperti menjiplak, mengutip tanpa disebutkan sumbernya, dan hal-hal semacam itu.

7. Tidak mengirim tulisan yang sama kepada media yang lain. Kecuali telah mempunyai kesepakatan dengan pihak yang terkait. Perlu diketahui bahwa sebenarnya hal ini belum diundangkan secara baku, tetapi masih merupakan konvensi atau aturan tak tertulis di masing-masing media. Konsekuensi jika penulis ketahuan menulis dengan tulisan yang sama di media berbeda, biasanya ia akan dikenakan sanksi yang biasa disebut black list atau daftar hitam. Artinya jika seseorang telah terkena daftar hitam ini pada media tertentu, maka tulisan-tulisannya tidak akan dimuat pada media tersebut dalam jangka waktu tertentu.



Ciri-ciri Naskah Buku yang Berkualitas

Naskah buku adalah tulang punggung penerbit. Tanpa sebuah naskah, tidak akan ada penerbitan. Naskah buku bisa didapatkan dengan berbagai cara, di antaranya kreativitas penerbit dengan menyusun langsung buku-buku tertentu, kiriman penulis, hasil kajian ilmiah pakar tertentu, atau jika mungkin penerbit mengadakan sayembara mengarang/menulis buku, yang terbaik nanti diterbitkan.

Walau demikian tidak sembarang naskah akan diterbitkan, semuanya harus memenuhi persyaratan. Hal ini baik menyangkut bisnis maupun idealisme. Sebuah penerbitan akan rugi besar jika buku yang diterbitkan ternyata tidak laku di pasaran. Begitu pula seorang penerbit harus mempunyai tanggung jawab moral untuk mencerdaskan masyarakat, tidak melulu bisnis. Menurut Sofia Mansoor dan Niksolim (1993), untuk menerbitkan sebuah buku sebuah penerbitan harus bisa memenuhi kriteria berikut ini:

1. Keperluan
Apakah buku ini memang diperlukan masyarakat? Mengapa?

2. Sasaran pembaca
Siapakah pembaca buku ini: umum, dewasa, anak-anak, kaum ibu, orang tua, mahasiswa (jurusan apa, tingkat berapa).

3. Jumlah Pembaca
Berapa kira-kira ukuran pasar? Hal ini tidak mudah dijawab, tetapi untuk buku tertentu jawabannya mudah. Misalnya, buku pelajaran mudah diperkirakan jumlah pembacanya karena yang menggunakannya pelajar pada jenjang pendidikan tertentu.

4. Isi Naskah
Apakah isi naskah tidak menyinggung SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan/adat istiadat), tidak menentang ideologi negara, sesuai dengan tingkat pembaca?

5. Saingan

Apakah ada buku lain yang menjadi saingan buku tersebut? Sebutkan judulnya. Apa kelemahan dan kelebihan naskah buku ini dibanding saingannya?

6. Penyajian
Apakah isi ditulis dengan susunan tertib, apakah bahasa pengarang mudah dipahami, apakah ilustrasi mendukung uraian?

7. Kemutakhiran

Apakah isi buku ini tidak ketinggalan zaman? Jawabannya dapat diperolah dengan mengamati daftar pustaka yang diacu pengarang.

8. Hak cipta
Apakah penelaah mengenali ada bagian yang dikutip dari buku lain? Penerbit harus waspada agar jangan sampai penerbit dituntut karena menerbitkan buku jiplakan.

9. Kelayakan terbit
Apakah buku tersebut layak diterbitkan oleh penerbit yang bersangkutan? Sejumlah penerbit hanya menerbitkan buku-buku tertentu, buku agama, sekolah, universitas misalnya.

Seorang penulis yang mampu menyelami nurani massa, akan mampu menulis buku yang bukan hanya berkwalitas, tapi juga disukai khalayak pembaca. Buku yang laku, akan menguntungkan dari segi dakwah, semakin banyak pembaca berarti dakwah semakin tersebar luas. Dari sudut ekonomi, baik penerbit maupun penulis, jelas akan diuntungkan dengan buku best seller (laris di pasaran).


0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...