Berkorban

Selasa, 10 April 2012

BerjuangMeraih Ilmu, Berkorban Wujudkan Cita-cita

Media massa telah merubah banyak cita-cita. Dulu, sebutlah 20 tahun yang lalu, yang kerap ditampilkan media massa adalah tokoh-tokoh dari latar belakang pendidikan insinyur dan kedokteran. Akibatnya, anak-anak sekolah semasa itu pun menggumpalkan cita-cita mereka ke kedua bidang tersebut. Karena itulah, jurusan bahasa di sekolah menengah lantas menjadi jurusan buangan untuk mereka yang dinilai tak layak masuk jurusan ilmu pasti dan ilmu sosial.
Murid jempolan di sekolah menengah adalah mereka yang duduk di kelas ilmu pasti. Perguruan tinggi pun mengutamakan mereka sebagai anak didik nomor wahid. Lulusan ilmu pasti dengan leluasa serta diberikan kebebasan yang luar biasa untuk berhak mengikuti tes masuk ke bidang eksakta dan non-eksakta. Sebaliknya, mereka yang dari jurusan sosial dan bahasa hanya berhak ikut tes di kelompok non-eksakta saja. Maka, tak mengherankan pula jika dalam kehidupan masyarakat, dominasi kelompok eksakta ini menjadi dominan.
Setelah reformasi, berbagai jenis media bermunculan. Baik media cetak, media audio, media audiovisual, dan media internet. Ragam media yang dikonsumsi masyarakat makin banyak. Variasi content yang menerpa masyarakat juga makin variatif. Cerita tentang orang yang memiliki sejumlah Warung Tegal dengan penghasilan yang menggiurkan, bertebaran di media. Tulisan tentang mereka yang beternak lele serta berdagang ikan konsumsi lainnya, dengan pemasukan puluhan juta rupiah per bulan, ada di berbagai media.

Demikian juga dengan content tentang mereka yang memilih pensiun dini setelah bekerja bertahun-tahun, kemudian beralih menjalankan warung mie, usaha aksesori, menyewakan mesin fotocopy, lalu meraup keuntungan tak alang-kepalang. Begitu pula dengan wawancara dengan mereka yang sukses secara finansial, meski mereka tak berpendidikan tinggi. Semua itu mengisi ruang-ruang media massa. Kisah-kisah mereka bertebaran di mana-mana dan diakses banyak kalangan.

Dan, semua itu menjadi tempat berkaca masyarakat, menjadi tools bagi sebagian anggota masyarakat untuk mengukur diri masing-masing. Secara bertahap, takaran sukses pun kian beragam. Anggapan bahwa titel insinyur dan dokter sebagai dua password untuk sukses dalam hidup pun luntur. Masih tersedia banyak jalur untuk sukses. Masih banyak bidang yang sangat terbuka peluangnya untuk diterobos. Berbagai sekolah kejuruan yang selama ini punah atau dihapuskan karena tak menjadi pilihan masyarakat, dengan cepat posisinya digantikan berbagai lembaga kursus, lembaga pendidikan profesi, pusat pelatihan, dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini menyebar dari ibukota sampai tingkat kabupaten, bahkan kecamatan. Menjadi insinyur atau dokter bukan lagi satu-satunya cita-cita. 

Berikut saya tampilkan petikan biografi Teguh Ostenrik, salah seorang pelukis dan pematung kenamaan negeri ini, yang meninggalkan Fakultas Kedokteran untuk mengejar cita-citanya menjadi pelukis:

Setelah menyelesaikan SMA di ST. Joseph Solo, ia masuk ke Fakultas Kedokteran Trisakti, Jakarta. Kuliah Kedokterannya ia tinggalkan pada tahun kedua, karena memang Teguh tidak merasakan panggilan jiwanya di ilmu kedokteran tersebut.
Diam-diam ia memutuskan untuk pergi ke Jerman, agar bisa melanjutkan studinya di jurusan ilmu yang jauh berbeda, yaitu seni rupa. Tahun 1971, ia mulai berkoresponden dengan sahabatnya di SMA dahulu, Robert Gunawan, yang pada saat itu sudah berada di Aachen. Dan, akhirnya, tahun 1972 bulan November, Teguh berangkat dengan one way ticket ke Munich, Jerman Barat.
Di luar kota Munich, Am Walchensee, ia belajar bahasa Jerman selama 3 Minggu, dan tidak kerasan. Lalu, ia pergi ke Berlin Barat, untuk melanjutkan kursus bahasa Jerman-nya, sambil mencari kerja sampingan di restaurant Bali, sebagai tukang cuci piring.
Pada tahun-tahun itu, tentu sangat ganjil di masyarakat, jika ada seseorang yang sekolah menengahnya ilmu pasti, kemudian sudah duduk di Fakultas Kedokteran Trisakti, lalu meninggalkannya untuk studi: seni rupa. Bagi sebagian orang tua pada masa itu, tentu langkah yang ditempuh Teguh Ostenrik sangat keterlaluan. Sudahlah menghabiskan biaya, buang-buang umur, dan bidang seni rupa tidak jelas masa depannya.

Sebaliknya, kalau kita cermati dari sudut pandang yang lain, apa yang dilakukan Teguh menunjukkan kepada kita betapa seseorang harus bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan cita-citanya dengan mendalami bidang yang ia minati. Ia paham benar apa yang ia inginkan dan ia berjuang untuk meraihnya. Mengorbankan biaya, juga mengorbankan waktu, adalah bagian dari resiko perjuangan demi sebuah cita-cita.
Dan, Teguh telah melukiskannya pada kita, betapa untuk meraih cita-citanya, ia jungkir-balik memperjuangkannya. Beban serta tantangan yang harus dihadapinya pastilah tidak ringan, apalagi ia berjuang di negeri orang, jauh dari sanak-saudara. Kalau bukan karena tekad yang kuat demi cita-cita, demi bidang studi yang ia minati, tentulah tak kan ia jalani semua itu. Jadi, selain keyakinan akan bidang studi yang diminati, keyakinan akan dirinya pun tergambar dengan jelas di sini. Berbagai kegagalan tak membuatnya menyerah, sebagaimana lanjutan petikan bio Teguh berikutnya:
Biaya hidup di Jerman ia dapatkan dari part time job, selama studi. Tahun 1973, Teguh mencoba ujian masuk di Hochschule der Kunste Berlin, gagal. Lalu, sebagai upaya agar dia tetap mendapatkan izin tinggal, maka ia mendaftar ke sekolah graphik design di Lette Schule. Langkah ini ia tempuh sambil mempersiapkan diri, menghadapi ujian masuk lagi di Hochschule der Kunste, yang dilakukannya sampai empat kali. Akhirnya, tahun 1974, Teguh diterima di bagian Seni Rupa Murni pada HdK Berlin.

Pada tahun 1980, Teguh berhasil meraih gelar Meisterschüler di bawah bimbingan Prof. Hermann Bachman. Sebelum ujian akhir, Teguh telah mengadakan pameran lukisan tunggal mengenai Homo Sapiens Bertopeng di Dahlem Museum, West Berlin, juga pameran bersama di Galerie Am Parkhaus, Schöneberger Werkstatt Galerie, dan di Hochschüle Der Kunste.
Sudah jauh-jauh pergi ke negeri orang, belajar bahasa orang asing, tes berkali-kali gagal, toh tak membuat Teguh menyerah. Ia sangat meyakini apa yang ia minati. Ia paham apa yang ia inginkan. Ia terus berjuang untuk bidang studi yang ingin ia dalami. Semua itu mematangkan dirinya sebagai pelukis, juga pematung.


BerkorbanDemi Cita-CitaKu

Bermula gemilang cahaya petunjuk pimpinan yang ESA
menempuh jalan hidup bahagia……!
Masalah yang datang silih berganti
Memantapkan hati untuk mematangkan diri
Mengejar dan mencari arti hidup ini…..
Berjuang dan berkorban demi Cita-cita
Suka dan duka itu sudah suratanya
Untuk menengenal makna jalan bahagia
Waktu dan masa yang silih berganti
Semakin hampir aku saat itu untuk……!!!

Ya Tuhan tunjukan aku dan berilah keselamatan
Untuk menggapai cita-citaku
Biarpun aku menyadari banyak kekurangan
Namun aku bersyukur pada Mu Tuhan
Limpahan dan karunia petunjuk bantuan Mu
Menemani aku untuk menempuh hari yang…..
Diinginkan dan mendatang Semoga…..

Sisa hidup ini tidak akan terbuang lagi setiap detiknya
Masa dan waktupun dalam amalan juga
Berjuang demi cita-cita
berjuang mencari Iman Taqwa
Perisai hidupku menempuh pancaroba
Sebagai penentu tempat yang amat bahagia
Seiring teman dan saudara
Pimpinan tauladan baginda
Untuk membantu diriku
Mencari makna hidup
Dengan sebuah komitmen
Berkorban demi Cita-citaku



Berkorbandemi Cita-Cita

Semua orang kayaknya sih pasti punya cita-cita. Kalau ada yang bilang 'enggak punya' mungkin hanya karena malu menyebutkan atau gak sadar kalau sebenarnya dia punya. Anakku aja udah punya cita-cita pengen punya mobil Panther, gak tahu kok kenapa begitu cita-citanya.

Aku... jelas punya cita-cita. Malah banyak, gak cuma satu. Tapi karena itu cita-citaku, pengen banget harus terwujud. Secepatnya kalau bisa. Pengennya sih gak ada yang menghalangi, gak ada yang mengganngu, banyak yang bantuin. Tapi kayaknya gak selalu begitu. Halangan tetap ada, yang bantuin ada juga sih cuma gak banyak. Apa harus mundur? Tidak lah yaw. Maju terus.

Saya punya keyakinan. Sebagian tenaga memang harus disisihkan. Beberapa rupiah harus hilang. Tidak sedikit kesempatan terpaksa harus dilepaskan. Wajar lah untuk hasil yang menjadi cita-cita tadi.

Tampaknya keyakinan juga jadi keyakinan banyak orang. Kemarin aku dengar cerita ada seorang sanak yang harus rela keluar beberapa puluh juta untuk lolos jadi tamtama. Seorang guru harus melepas beberapa juta untuk diangkat jadi kepala sekolah. Katanya sih udah diitung-itung, pasti untung. Ah... apa iya itu pengorbanan yang semestinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...